Di tengah pemulihan ekonomi global, sektor pariwisata Indonesia menunjukkan geliat positif. Perlahan tapi pasti, destinasi wisata lokal kembali dipadati pengunjung. Melalui berbagai kanal informasi seperti Portal Narasi, publik kini semakin mudah mengikuti perkembangan wisata domestik, mulai dari destinasi baru yang belum terjamah, hingga kebijakan pemerintah daerah yang mendukung sektor ini.
Bukan hanya destinasi populer yang bersinar. Kini wisatawan justru mulai tertarik menjelajahi tempat-tempat tersembunyi yang menawarkan keaslian, kedekatan dengan alam, dan interaksi budaya yang lebih intim. Tren ini memberi peluang besar bagi desa wisata dan pelaku pariwisata berbasis komunitas.
Transformasi Wisata: Dari Massal ke Personal
Sebelum pandemi, wisata massal menjadi andalan. Ribuan turis menjejali tempat-tempat yang sama, menciptakan kemacetan dan tekanan terhadap lingkungan. Namun kini pola itu mulai bergeser. Wisatawan modern lebih memilih pengalaman yang unik, personal, dan bermakna. Mereka tak lagi sekadar mengambil foto, melainkan ingin merasakan kehidupan lokal, mencicipi makanan khas, dan mengenal budaya setempat.
Hal ini mendorong banyak daerah untuk mengembangkan konsep ekowisata dan slow travel. Bukan lagi mengejar jumlah pengunjung semata, tapi kualitas pengalaman dan keberlanjutan jangka panjang. Desa-desa mulai memperbaiki infrastruktur kecil, membangun homestay, dan melatih warga lokal menjadi pemandu wisata yang andal.
Peran Generasi Muda dalam Menghidupkan Destinasi
Anak-anak muda lokal kini memegang peran penting dalam membangun wajah baru pariwisata. Dengan kemampuan digital dan akses ke media sosial, mereka mempromosikan daerahnya sendiri melalui video, blog, dan platform visual lain. Banyak destinasi yang sebelumnya nyaris tak dikenal kini viral berkat kreativitas anak muda dalam mengemasnya secara menarik.
Beberapa di antaranya bahkan berkolaborasi dengan seniman, pegiat budaya, hingga pelaku UMKM untuk menghidupkan potensi wisata secara utuh. Mulai dari festival budaya lokal, pertunjukan musik akustik di pinggir danau, sampai kegiatan berkebun dan memasak bersama warga—semuanya menjadi bagian dari daya tarik wisata baru.
Lebih menarik lagi, konsep saromben mulai banyak diterapkan dalam pengelolaan wisata berbasis komunitas. Saromben, yang berasal dari tradisi kearifan lokal Sulawesi Tengah, berarti kerja sama yang dijalankan atas dasar kebersamaan, tanggung jawab kolektif, dan hasil yang dibagi secara adil.
Dalam konteks pariwisata, saromben menciptakan sistem di mana seluruh warga dilibatkan, mulai dari penyedia penginapan, pemandu, pengrajin, hingga kelompok kuliner lokal. Dengan begitu, manfaat ekonomi dari pariwisata tidak hanya dinikmati segelintir orang, tapi tersebar luas di seluruh komunitas.
Digitalisasi Sektor Wisata: Peluang yang Harus Dimaksimalkan
Digitalisasi menjadi kata kunci lain dalam kebangkitan wisata lokal. Kini hampir semua destinasi memiliki akun media sosial, direktori online, dan sistem pemesanan digital. Panduan wisata yang dulu hanya tersedia dalam bentuk brosur kini hadir dalam bentuk video interaktif dan ulasan real-time.
Platform seperti Google Maps, TikTok, hingga situs ulasan perjalanan menjadi rujukan utama para wisatawan sebelum menentukan tujuan. Oleh karena itu, penting bagi pengelola wisata lokal untuk membangun kehadiran digital yang kuat dan konsisten. Termasuk di dalamnya memastikan informasi harga, akses transportasi, hingga jam operasional selalu diperbarui.
Namun tantangannya tak sedikit. Di beberapa daerah, keterbatasan jaringan internet dan kurangnya pelatihan digital membuat potensi wisata belum tergarap maksimal. Di sinilah peran lembaga pendidikan, komunitas digital, dan bahkan media seperti Portal Narasi sangat penting—memberikan ruang belajar, akses informasi, dan cerita inspiratif dari tempat-tempat lain yang sudah berhasil.
Lingkungan Sebagai Mitra, Bukan Korban
Tak dapat dimungkiri, lonjakan wisatawan kadang membawa dampak negatif bagi lingkungan. Sampah, kerusakan ekosistem, hingga eksploitasi sumber daya menjadi isu klasik yang terus menghantui sektor ini. Maka dari itu, pendekatan berkelanjutan wajib menjadi bagian dari desain wisata sejak awal.
Beberapa daerah sudah mulai menerapkan sistem tiket terbatas per hari, larangan kendaraan bermotor di zona tertentu, hingga kampanye zero waste yang melibatkan pengunjung secara langsung. Di sisi lain, kegiatan edukatif seperti menanam pohon, belajar membuat kompos, hingga membangun fasilitas umum dari bahan daur ulang menjadi aktivitas wisata yang digemari generasi muda.
Mengubah pariwisata dari industri eksploitatif menjadi wahana edukatif bukan tugas mudah. Tapi jika dilakukan bersama, dengan pendekatan seperti saromben dan dukungan literasi digital, proses ini bukan hanya mungkin, tapi sangat menjanjikan.
Masa Depan Wisata: Kolaborasi dan Identitas Budaya
Masa depan wisata Indonesia terletak pada kekuatan kolaborasi dan keaslian identitas budaya. Tidak ada satu model yang cocok untuk semua. Tiap daerah punya cerita, punya lanskap, punya irama sendiri. Justru di situlah kekuatannya.
Pelaku wisata tidak perlu meniru destinasi internasional. Yang dibutuhkan adalah kepercayaan pada potensi lokal, dan kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi. Kolaborasi antara generasi muda, tokoh adat, pemerintah daerah, serta media dan teknologi bisa menciptakan fondasi yang kokoh bagi pariwisata berkelanjutan.
Media seperti Portal Narasi membantu menjembatani informasi dan cerita-cerita inspiratif dari berbagai sudut negeri. Narasi yang dibangun tidak hanya menjual lokasi, tapi juga nilai—bahwa berwisata di Indonesia bukan sekadar jalan-jalan, tapi juga soal mengenal siapa kita sebagai bangsa.
Penutup
Kebangkitan wisata lokal bukan sekadar soal angka kunjungan. Ini adalah momentum untuk membangun ulang identitas, memperkuat komunitas, dan menjadikan pariwisata sebagai alat pemerataan ekonomi. Dengan mengedepankan nilai kolaboratif seperti saromben, dan memaksimalkan peran teknologi serta media seperti Portal Narasi, masa depan pariwisata Indonesia bisa lebih adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Kini saatnya menjelajah negeri sendiri, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati yang terbuka.